Rabu, 06 Maret 2013

Cruel Fairy Tale Chap 8


Tittle: Cruel Fairy Tale|chap 8: Break Down
Author: Minn aka Peri Labu
Pair: KyuMin
Genres: Romance|hurt/comfort
Warning(s): BL| Support pair: MinWook|Crack: KyuSeo|OOC for all cast.

.
.
.
Break Down
"Karena semua menjadi berbeda."
.
.

            Eomma?”
            Ryeowook tersentak kaget saat karamelnya menemukan sosok wanita anggun berdiri tepat di depan pintu apartemen. Ia masih memakai celemek melukisnya, bahkan ia masih membawa kain untuk mengelap cat yang menempel di kedua kepalan tangannya, karena mengira Sungmin atau Yesung yang datang.
            Wanita itu tersenyum. “Annyeong, Wookie-yah.”

            Senyum Ryeowook melebar. Buru-buru ia menghempaskan tubuh mungilnya untuk mendekap Nyonya Kim.
            Eomma, bogoshippeoyo~!” serunya manja.
            Nyonya Kim tertawa ringan, penuh sayang ia membalas pernyataan bungsunya itu. “Nado, Chagi.”
            “Kapan Eomma pulang? Kenapa tidak memberitahuku? Aku kan sangat merindukan Eomma. Eomma tahu?” Ryeowook menyerocos dengan bibir ter-pout lucu. Sementara ia menuntun ibu yang masih di rangkulnya itu masuk ke dalam apartemen.
            Aigo, kenapa uri Wookie jadi cerewet begini?”
            Ryeowook tertawa riang. “Itu karena aku terkejut Eomma tiba-tiba berada di sini. Kupikir, Eomma masih berada di London.”
            Pemuda mungil itu melepaskan celemeknya, membersihkan hingga bersih tangannya, lalu duduk manis di sisi ibunya yang masih mengulum senyum maklum. Ryeowooknya memang selalu manja.
            Eomma tiba kemarin. Hyeong-mu tidak memberitahu?” Nyonya Kim mengangkat alisnya penasaran, sedikit berniat mengetes kedekatan mereka selama ini.
            Sesuai harapannya, Ryeowook menggeleng kecewa.
            “Yesung hyeong menyebalkan! Waktu kuliah di London bersama Sungmin hyeong, ia selalu bilang tidak punya waktu untukku. Sekalinya bekerja, ia malah sama sekali tidak memerhatikanku lagi. SMS pun nyaris tidak pernah. Keterlaluan, kan, Eomma? Hyeong itu benar-benar menyebalkan!”
            Katakan Nyonya Kim jahat. Sebab, sekarang ujung bibirnya terangkat samar. Puas sekaligus senang mendengar omelan sarat kecewa dari bibir Ryeowook. Tidak ada ibu di dunia ini yang menginginkan penderitaan dan kekecewaan bagi putranya. Nyonya Kim sadar betul hal itu. Tapi, ia lebih sadar, tidak ada ibu di dunia ini yang akan membiarkan kedua anaknya menjalin hubungan terlarang.
            Bohong jika Nyonya Kim mengatakan bahwa ia tidak sakit melihat Yesungnya menderita oleh perasaannya sendiri. Tapi, menderita seperti ini lebih baik ketimbang kebahagiaan semu yang dilarang Tuhan.
            Eomma? Kenapa Eomma diam? Eomma tidak suka aku mengomel tentang sikap Yesung hyeong?”
            Nyonya Kim tersentak kaget begitu suara Ryeowook kembali terdengar. Ia menggeleng dengan senyum di bibirnya yang tipis. “Ani. Eomma suka kau mengomeli, Hyeong-mu sesekali. Tapi mengertilah keadaannya.”—mengertilah kalau Yesungie mencintaimu dan Eomma tidak merestuinya.Hyeong-mu kan sedang sibuk. Bukankah kau juga sibuk melukis, Wookie-yah?”
            Ryeowook mengangguk semangat, teringat dengan pekerjaannya sendiri. “Pameranku akan segera diadakan. Apa Eomma punya waktu? Minggu depan, datanglah bersama Yesung hyeong. Sungmin hyeong juga sudah berjanji akan datang.”
            Nyonya Kim tidak menjawab. Ia malah menengok ke sana-ke mari, seperti mencari sesuatu atau seseorang, sebab ketika matanya tidak juga menemukan siapa yang ia cari, pelan ia bertanya pada Ryeowook. “Omong-omong, Sungminnie ke mana?”
            “Kantor!” Ryeowook merenggut sebal lagi saat menjawab. “Sungmin hyeong juga sibuk. Ia bahkan menginap di kantor semalaman. Yesung hyeong benar-benar menyiksanya.”
            Nyonya Kim hanya ber-‘oh’ ria, sementara Ryeowook melirik takut-takut. Eomma-nya tidak pernah tahu hubungannya dengan Sungmin. Eomma-nya hanya tahu kalau ia merasa nyaman bersama Sungmin dan meminta Sungmin untuk menjaganya. Tidak lebih dari itu.
            “Ah, aku hampir lupa. Eomma mau minum apa?” Ryeowook buru-buru berdiri dari tempatnya, mengalihkan pembicaraan sebelum Eomma-nya itu bertanya macam-macam.
            Nyonya Kim lagi-lagi tidak langsung menjawab. Matanya menjelajah ke seluruh ruang apartemen itu. “Kelihatannya Sungminnie memaksakan seleranya untuk desain interior apartemen ini, Wookie-yah. Dan sejak kapan kau suka warna pink?”
            “Aku suka semua warna kok, Eomma.” Ryeowook tertawa kaku. “Jadi, mau minum apa?”
            “Apapun yang uri Wookie sediakan.”
            Ryeowook tidak menunggu waktu lagi. Secepat cahaya, ia melesat ke arah dapur dan membuatkan apapun yang bisa membuat Eomma-nya tidak membicarakan hal-hal mengenai kedekatannya dengan Sungmin. Ryeowook hanya tidak yakin, ia tidak akan kelepasan membeberkan hubungannya.
..::.
            “Aku pulang, Wookie-yah.”
            Sungmin terbelalak kaget saat tahu-tahu ia mendongak dan mendapati nyonya Kim yang menyambutnya di ruang tengah apartemen itu. Matanya melirik cepat dari ruang melukis milik Ryeowook hingga arah dapur, namun ia tidak menemukan kekasihnya itu—bungsu keluarga Kim.
            Ahjumma?” gumamnya, masih setengah kaget melihat senyum anggun yang sudah lama tidak dilihatnya itu.
            Senyum nyonya Kim mendadak lenyap, berubah dengan wajah merajuk. “Kenapa memanggil dengan sebutan ‘Ahjumma’?”
            “Ah … Maksudku, Omonim.” Sungmin meralat salah tingkah. “Kenapa Omonim ada di sini?”
            Nyonya Kim kembali tersenyum senang. Ia tidak menjawab, tangannya justru merentang bersamaan dengan gerakannya yang mendekat pada Sungmin.
            “Min-ahbogoshippeoyo …!”
           Sungmin memaksakan seulas senyum di bibirnya. Kedua tangannya balas merangkul wanita baik hati itu. “Nado, Omonim.”
            Nyonya Kim belum melepaskan rangkulannya pada Sungmin saat Ryeowook muncul dari arah dapur. Sungmin melirik, memberi tatapan kenapa-Omonim-ada-di-sini pada Ryeowook, yang langsung di balas Ryeowook dengan mengedikkan kedua bahunya sambil menggeleng.
            “Kapan Omonim datang?” Sungmin memberanikan bertanya, sedikit melirik pada Ryeowook yang tidak segera memberitahukan kedatangan wanita ini.
            Nyonya Kim menjauhkan dirinya dari Sungmin. Keningnya berkerut. “Apa kau dan Wooki sepakat untuk menanyakan hal yang sama? Kalian tidak menginginkan Eomma datang, eoh?”
            “Ah, aniyo. Aku tidak tahu kalau Ryeowook juga menanyakan hal serupa. Lagipula, kami senang Omonim datang.” Sungmin mengulas senyum lagi.
            Sungguh, aneh rasanya saat mendapati Nyonya Kim ada di apartemen sementara kondisi Sungmin tidak begitu baik. Ada banyak sekali hal yang membuat kepalanya sakit. Bahkan untuk tersenyum saja, terasa begitu melelahkan. Sungmin tidak membenci wanita ini. Ia justru begitu menghormati dan menyayanginya. Bagaimanapun, Nyonya Kim sudah banyak berjasa untuk hidupnya.
            Orang berjasa yang kemudian Sungmin sakiti diam-diam dengan merebut Ryeowooknya.
            “Kau lelah, Min?”
            Sungmin terpaku saat tahu-tahu tangan halus itu sudah mengelus lembut pipinya. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang membuat hati Sungmin menghangat. Perhatian seperti ini yang membuat Sungmin lemah pada wanita itu. Dan tiap kali Nyonya Kim bertindak seperti ibu nyata baginya, Sungmin tahu ia adalah anak tak tahu diri.
            “Aku …,”—Sungmin lelah. Ia lelah pada hidup yang dijalaninya sendiri.
            Nyonya Kim tersenyum. Dielusnya rambut hitam kelam milik Sungmin. Baginya, berapapun hitungan usia yang dimiliki Yesung, Ryeowook, dan Sungmin, mereka bertiga tetap putra kecilnya. Ia memang tidak melihat bagaimana Sungmin tumbuh, tapi memilikinya sebagai anak, cukup untuk menganggapnya anak kecil yang butuh kasih sayang.
            “Istirahatlah, Chagi.” kata Nyonya Kim akhirnya. “Lain kali, kita makan malam bersama. Eomma ingin mengobrol denganmu.”
            Sungmin mengangguk. “Mianhae, Omonim.”
            Gwaenchana.” Nyonya Kim kembali merengkuh tubuh Sungmin singkat. Ia berbalik ke arah Ryeowook yang sedaritadi diam, lantas tersenyum. “Kalau begitu, sisa hari ini kita pergi tanpa Sungmin saja, Wookie-yah.”
            Ryeowook tersentak kaget. “Y-ye?”
            “Kau tidak mau pergi bersama Eomma?”
            “­A-ani! Aku akan pergi. Aku segera bersiap.”
            Ryeowook buru-buru ke kamarnya, meninggalkan Sungmin dan Nyonya Kim berdua saja. Sungmin baru akan pamit untuk ke kamarnya juga saat Nyonya Kim kembali bersuara tanpa membalikkan tubuhnya.
            “Hari ini, peringatan kematian ayah Wookie.” bisik Nyonya Kim lirih.
            Sungmin terdiam, agak terkejut. “Mereka tidak membicarakannya.”
            “Yesungie dan Wookie memang tidak pernah membicarakannya. Tapi Eomma tahu mereka ingin pergi.” Nyonya Kim berbalik, menghadap Sungmin yang terpaku. “Lain kali, kau juga harus ikut, Min. Arrachi?”
            Sungmin mengangguk kaku. “Ye, Omonim.”
            Hari ini peringatan kematian ayah mereka. Di tanggal hari ini juga, beberapa tahun lalu, untuk kali pertama Sungmin bertemu dengan Yesung.
..::.
            “Kyuhyun-ah, saranghae?”
            Eohsaranghae!”
            Sungmin tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak mengingat pertanyaan itu. Pertanyaan paling bodoh yang pernah ia tanyakan pada seseorang. Sangat bodoh dan ia menyesal pernah sangat berdebar-debar saat mendengar jawabannya.
            Kalau ada pertanyaan paling konyol di dunia ini, itu sudah tentu menanyakan seseorang apa ia mencintaimu atau tidak.
            Sungmin mendesah. Sudah sejam yang lalu Ryeowook dan Nyonya Kim pergi, sudah sejam yang lalu pula ia hanya berdiri bersandar di pintu kamarnya—mengingat masa lalu yang tidak ingin ia ingat, tapi terus saja berputar tanpa bisa ia hentikan. Karena itu tadi Sungmin segera pulang. Ia butuh Ryeowook untuk menyadarkannya, ia tidak lagi hidup di masa lalu. Ia butuh Ryeowook untuk menyelamatkannya dari kegilaan ini.
            Tubuh Sungmin merosot jatuh ke lantai. Ia merasa menghindari ini semua begitu melelahkan. Dulu, ia sempat berpikir bahwa hari ini akan tiba, karena itu Sungmin menyiapkan hatinya. Tapi hari saat Kyuhyun kembali terlalu lama. Sangat lama, cukup bagi Sungmin untuk terbiasa dengan Ryeowook.
            Sungmin tidak siap untuk terluka demi meluruskan masa lalu. Hal ini sudah terlalu lama. Yang sudah, biarkan saja tetap seperti itu. Bukankah selama ini mereka bisa bertahan hingga saat ini? Bukan tidak mungkin untuk bertahan lagi ke depannya.
            Saranghae, Lee Sungmin. Saranghandago!”
            Sungmin membenamkan kepalanya di antara kedua lengan, menjatuhkan dahinya di atas lutut. Ia ingin menghentikan ini. Rasanya, ia seperti penderita amnesia yang baru saja mendapatkan ingatannya kembali. Dan itu menyakitkan. Ia sudah menciptakan teritori amannya sendiri bersama Ryeowook, tapi orang lain yang pernah menyia-nyiakannya justru datang lagi. Meminta lagi apa yang sudah pernah ia buang begitu saja.
            Memaafkan tidak semudah itu, tidak semudah mengatakannya.
            “Tentu, Hyeong. Kita akan membuatnya. Rumah kita!”
            Rumah itu. Sungmin juga mengingat ia pernah membuat gambar itu dahulu. Gambar yang ia sebut rumah masa depan.
            “Tidurlah dengan baik. Jangan mengkhawatirkan apapun.”
            Kedua bahu Sungmin bergetar, isak tertahan menyusup keluar dari kedua belah bibirnya.
            “Karena aku akan selalu di sini untuk menggenggam tanganmu.”
            Tapi sekarang, bahkan ketika ia menangis pilu, tidak ada seorang pun di sisinya. Tidak ada yang menggenggam tangannya. Ia sendiri.
           Kondisi berubah. Kyuhyun pernah berubah. Dan sekarang, Sungmin pun berubah. Semua tidak lagi sama. Ia tidak ingin mengenang. Ia tidak ingin terjebak di masa lalu. Sekarang, masa depannya adalah Ryeowook—
            —hanya Ryeowook.
..::.
            Baru tiga jam sejak Ryeowook meninggalkan Sungmin sendirian di apartemen. Tapi perasaannya benar-benar buruk. Ia mengkhawatirkan Sungmin setengah mati. Karena itu, sepulang dari area pemakaman, Ryeowook segera meminta izin untuk pulang. Meski ia ingin bersama ibunya dan Yesung lebih lama, tapi ia tidak bisa tenang.
            Dan firasat itu terbukti. Begitu memasuki apartemen, ia bisa mendengar suara isakan pilu dari kamar Sungmin.
            Laki-laki yang selalu kuat itu menangis sendirian di balik pintu berwarna pink di sana. Ryeowook mengingat-ingat. Ia tidak pernah mendengar atau melihat Sungmin menangis seperti ini. Dan Ryeowook bisa bertaruh, ia tidak suka mendengar tangis itu.
            Sungminnya, dalam keadaan apapun hanya akan diam. Sama seperti dulu.
            “LEPASKAN AKU!”
           Ryeowook tidak pernah suka rasa sepi. Ia pun tidak mengerti. Padahal, ada banyak pelayan di sekitarnya. Tapi ia selalu merasa sendiri. Hari itu ia mengamuk dan Yesung tidak ada di rumah untuk menenangkannya. Yang ada hanya remaja berwajah datar yang melihatnya tanpa mengatakan apapun.
            Ia Lee Sungmin.
            Awalnya, Ryeowook benar-benar benci. Terutama ketika Sungmin justru mendekat padanya, menatapnya seperti objek penelitian. Ryeowook hampir memukul Sungmin kala itu, sebelum akhirnya Sungmin justru menarik Ryeowook dalam dekapannya, merangkulnya meski Ryeowook berontak hebat.
            “Aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
            Sungmin memang tidak melepaskannya. Hingga Ryeowook lelah, hingga akhirnya ia menangis keras, bercerita tentang rasa sepinya, Sungmin ada di sana, memeluknya tanpa banyak bicara.
            “Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Kita jatuh cinta sama-sama.”
            Tidak ada kalimat paling mengagetkan dalam hidup Ryeowook kecuali saat Sungmin memintanya untuk jatuh cinta. Sungmin bukan tipikal orang yang patut dicintai kala itu. Seorang tempramen kesepian dan boneka hidup bukanlah pasangan yang cocok.
            “Kenapa aku harus jatuh cinta pada namja sepertimu?”
            “Karena hanya aku yang mengerti kondisimu.”
            Tapi Ryeowook memilih Sungmin. Ia memilih untuk jatuh cinta, menciptakan dunia sendiri dan hidup di dalamnya berdua.
            “Pertahankan aku dalam dunia ini, Ryeowook-ah!”
            Lalu sekarang, Ryeowook merasa ada yang tengah berusaha menghancurkan dinding-dinding kokoh dunia mereka. Orang itu, tengah berusaha menarik Sungminnya keluar.
            “Aku tidak akan melepaskanmu, Hyeong.” Ryeowook mencengkram bajunya. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”
..::.
            Yesung masih terdiam saat ia menatap direksi kepergian Ryeowook. Pemuda mungil itu begitu terburu-buru, seperti tidak akan ada yang bisa menahannya di sini. Padahal, Yesung berharap ia bisa melihatnya lebih lama.
            Entah berapa lama Yesung tidak melihat eksistensi pemuda itu. Meski tidak bisa mendapat perhatian seperti yang Ryeowook berikan pada Sungmin, ia masih bisa mendengar Ryeowook bercerita atau tersenyum. Bagi Yesung, begitu saja sudah cukup. Selama ini, Yesung cukup mencintai dengan cara seperti itu.
            “Yesungie …,”
            Yesung berbalik begitu suara halus itu menyambangi pendengarannya. “Ye?” Ia menunduk, sebisa mungkin tidak menatap ekspresi tak tertebak di wajah ibunya.
            Nyonya Kim terdiam sejenak. “Kau benar-benar gila, Yesungie-yah!”
            Yesung mengangkat kepalanya, terkejut oleh kalimat itu. “Ye? O-omonim …,”
            “Berapa kali Eomma harus mengatakannya, Yesungie-yah?” Nyonya Kim menelan ludahnya. Ia tidak bermaksud menghakimi putranya ini. Ia hanya tidak ingin Yesung terus-terusan terjebak. “Kau tidak bisa …,”
            Mianhae. Naneun …,”
            Mata Yesung terbelalak kaget. Ia belum selesai dengan kalimatnya saat tahu-tahu ibunya mendekat dan merangkul tubuhnya. Tubuh wanita tercinta Yesung itu bergetar, isakannya teredam di dada milik Yesung.
            “Ini semua salah Eomma. Mianhae, Yesungie-yah. Jeongmal mianhae …,”

::TBC::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar