Tittle: Cruel Fairy Tale|chap 8: Break Down
Author: Minn aka Peri Labu
Pair: KyuMin
Genres: Romance|hurt/comfort
Warning(s): BL| Support pair: MinWook|Crack:
KyuSeo|OOC for all cast.
.
.
.
Break Down
"Karena semua menjadi berbeda."
.
.
“Eomma?”
Ryeowook
tersentak kaget saat karamelnya menemukan sosok wanita anggun berdiri tepat di
depan pintu apartemen. Ia masih memakai celemek melukisnya, bahkan ia masih
membawa kain untuk mengelap cat yang menempel di kedua kepalan tangannya,
karena mengira Sungmin atau Yesung yang datang.
Wanita
itu tersenyum. “Annyeong, Wookie-yah.”
“Eomma, bogoshippeoyo~!” serunya manja.
Nyonya
Kim tertawa ringan, penuh sayang ia membalas pernyataan bungsunya itu. “Nado, Chagi.”
“Kapan
Eomma pulang? Kenapa tidak memberitahuku?
Aku kan sangat merindukan Eomma. Eomma tahu?” Ryeowook menyerocos dengan
bibir ter-pout lucu. Sementara ia
menuntun ibu yang masih di rangkulnya itu masuk ke dalam apartemen.
“Aigo, kenapa uri Wookie jadi cerewet begini?”
Ryeowook
tertawa riang. “Itu karena aku terkejut Eomma
tiba-tiba berada di sini. Kupikir, Eomma
masih berada di London.”
Pemuda
mungil itu melepaskan celemeknya, membersihkan hingga bersih tangannya, lalu
duduk manis di sisi ibunya yang masih mengulum senyum maklum. Ryeowooknya
memang selalu manja.
“Eomma tiba kemarin. Hyeong-mu tidak memberitahu?” Nyonya Kim mengangkat alisnya
penasaran, sedikit berniat mengetes kedekatan mereka selama ini.
Sesuai
harapannya, Ryeowook menggeleng kecewa.
“Yesung
hyeong menyebalkan! Waktu kuliah di
London bersama Sungmin hyeong, ia
selalu bilang tidak punya waktu untukku. Sekalinya bekerja, ia malah sama
sekali tidak memerhatikanku lagi. SMS pun nyaris tidak pernah. Keterlaluan,
kan, Eomma? Hyeong itu benar-benar menyebalkan!”
Katakan
Nyonya Kim jahat. Sebab, sekarang ujung bibirnya terangkat samar. Puas
sekaligus senang mendengar omelan sarat kecewa dari bibir Ryeowook. Tidak ada
ibu di dunia ini yang menginginkan penderitaan dan kekecewaan bagi putranya.
Nyonya Kim sadar betul hal itu. Tapi, ia lebih sadar, tidak ada ibu di dunia
ini yang akan membiarkan kedua anaknya menjalin hubungan terlarang.
Bohong
jika Nyonya Kim mengatakan bahwa ia tidak sakit melihat Yesungnya menderita
oleh perasaannya sendiri. Tapi, menderita seperti ini lebih baik ketimbang
kebahagiaan semu yang dilarang Tuhan.
“Eomma? Kenapa Eomma diam? Eomma tidak
suka aku mengomel tentang sikap Yesung hyeong?”
Nyonya
Kim tersentak kaget begitu suara Ryeowook kembali terdengar. Ia menggeleng
dengan senyum di bibirnya yang tipis. “Ani.
Eomma suka kau mengomeli, Hyeong-mu sesekali. Tapi mengertilah
keadaannya.”—mengertilah kalau Yesungie
mencintaimu dan Eomma tidak
merestuinya. “Hyeong-mu kan
sedang sibuk. Bukankah kau juga sibuk melukis, Wookie-yah?”
Ryeowook
mengangguk semangat, teringat dengan pekerjaannya sendiri. “Pameranku akan
segera diadakan. Apa Eomma punya
waktu? Minggu depan, datanglah bersama Yesung hyeong. Sungmin hyeong
juga sudah berjanji akan datang.”
Nyonya
Kim tidak menjawab. Ia malah menengok ke sana-ke mari, seperti mencari sesuatu
atau seseorang, sebab ketika matanya tidak juga menemukan siapa yang ia cari,
pelan ia bertanya pada Ryeowook. “Omong-omong, Sungminnie ke mana?”
“Kantor!”
Ryeowook merenggut sebal lagi saat menjawab. “Sungmin hyeong juga sibuk. Ia bahkan menginap di kantor semalaman. Yesung hyeong benar-benar menyiksanya.”
Nyonya
Kim hanya ber-‘oh’ ria, sementara Ryeowook melirik takut-takut. Eomma-nya tidak pernah tahu hubungannya
dengan Sungmin. Eomma-nya hanya tahu
kalau ia merasa nyaman bersama Sungmin dan meminta Sungmin untuk menjaganya.
Tidak lebih dari itu.
“Ah,
aku hampir lupa. Eomma mau minum
apa?” Ryeowook buru-buru berdiri dari tempatnya, mengalihkan pembicaraan
sebelum Eomma-nya itu bertanya
macam-macam.
Nyonya
Kim lagi-lagi tidak langsung menjawab. Matanya menjelajah ke seluruh ruang
apartemen itu. “Kelihatannya Sungminnie memaksakan seleranya untuk desain
interior apartemen ini, Wookie-yah.
Dan sejak kapan kau suka warna pink?”
“Aku
suka semua warna kok, Eomma.”
Ryeowook tertawa kaku. “Jadi, mau minum apa?”
“Apapun
yang uri Wookie sediakan.”
Ryeowook
tidak menunggu waktu lagi. Secepat cahaya, ia melesat ke arah dapur dan
membuatkan apapun yang bisa membuat Eomma-nya
tidak membicarakan hal-hal mengenai kedekatannya dengan Sungmin. Ryeowook hanya
tidak yakin, ia tidak akan kelepasan membeberkan hubungannya.
..::.
“Aku
pulang, Wookie-yah.”
Sungmin
terbelalak kaget saat tahu-tahu ia mendongak dan mendapati nyonya Kim yang
menyambutnya di ruang tengah apartemen itu. Matanya melirik cepat dari ruang
melukis milik Ryeowook hingga arah dapur, namun ia tidak menemukan kekasihnya
itu—bungsu keluarga Kim.
“Ahjumma?” gumamnya, masih setengah kaget
melihat senyum anggun yang sudah lama tidak dilihatnya itu.
Senyum
nyonya Kim mendadak lenyap, berubah dengan wajah merajuk. “Kenapa memanggil
dengan sebutan ‘Ahjumma’?”
“Ah …
Maksudku, Omonim.” Sungmin meralat
salah tingkah. “Kenapa Omonim ada di
sini?”
Nyonya
Kim kembali tersenyum senang. Ia tidak menjawab, tangannya justru merentang
bersamaan dengan gerakannya yang mendekat pada Sungmin.
“Min-ah … bogoshippeoyo
…!”
Sungmin
memaksakan seulas senyum di bibirnya. Kedua tangannya balas merangkul wanita
baik hati itu. “Nado, Omonim.”
Nyonya
Kim belum melepaskan rangkulannya pada Sungmin saat Ryeowook muncul dari arah
dapur. Sungmin melirik, memberi tatapan kenapa-Omonim-ada-di-sini pada Ryeowook, yang langsung di balas Ryeowook
dengan mengedikkan kedua bahunya sambil menggeleng.
“Kapan
Omonim datang?” Sungmin memberanikan
bertanya, sedikit melirik pada Ryeowook yang tidak segera memberitahukan
kedatangan wanita ini.
Nyonya
Kim menjauhkan dirinya dari Sungmin. Keningnya berkerut. “Apa kau dan Wooki
sepakat untuk menanyakan hal yang sama? Kalian tidak menginginkan Eomma datang, eoh?”
“Ah, aniyo. Aku tidak tahu kalau Ryeowook
juga menanyakan hal serupa. Lagipula, kami senang Omonim datang.” Sungmin mengulas senyum lagi.
Sungguh,
aneh rasanya saat mendapati Nyonya Kim ada di apartemen sementara kondisi
Sungmin tidak begitu baik. Ada banyak sekali hal yang membuat kepalanya sakit.
Bahkan untuk tersenyum saja, terasa begitu melelahkan. Sungmin tidak membenci
wanita ini. Ia justru begitu menghormati dan menyayanginya. Bagaimanapun,
Nyonya Kim sudah banyak berjasa untuk hidupnya.
Orang
berjasa yang kemudian Sungmin sakiti diam-diam dengan merebut Ryeowooknya.
“Kau
lelah, Min?”
Sungmin
terpaku saat tahu-tahu tangan halus itu sudah mengelus lembut pipinya. Matanya
menyiratkan kekhawatiran yang membuat hati Sungmin menghangat. Perhatian
seperti ini yang membuat Sungmin lemah pada wanita itu. Dan tiap kali Nyonya
Kim bertindak seperti ibu nyata baginya, Sungmin tahu ia adalah anak tak tahu
diri.
“Aku
…,”—Sungmin lelah. Ia lelah pada hidup yang dijalaninya sendiri.
Nyonya
Kim tersenyum. Dielusnya rambut hitam kelam milik Sungmin. Baginya, berapapun
hitungan usia yang dimiliki Yesung, Ryeowook, dan Sungmin, mereka bertiga tetap
putra kecilnya. Ia memang tidak melihat bagaimana Sungmin tumbuh, tapi
memilikinya sebagai anak, cukup untuk menganggapnya anak kecil yang butuh kasih
sayang.
“Istirahatlah,
Chagi.” kata Nyonya Kim akhirnya. “Lain
kali, kita makan malam bersama. Eomma ingin
mengobrol denganmu.”
Sungmin
mengangguk. “Mianhae, Omonim.”
“Gwaenchana.” Nyonya Kim kembali
merengkuh tubuh Sungmin singkat. Ia berbalik ke arah Ryeowook yang sedaritadi
diam, lantas tersenyum. “Kalau begitu, sisa hari ini kita pergi tanpa Sungmin
saja, Wookie-yah.”
Ryeowook
tersentak kaget. “Y-ye?”
“Kau
tidak mau pergi bersama Eomma?”
“A-ani! Aku akan pergi. Aku segera bersiap.”
Ryeowook
buru-buru ke kamarnya, meninggalkan Sungmin dan Nyonya Kim berdua saja. Sungmin
baru akan pamit untuk ke kamarnya juga saat Nyonya Kim kembali bersuara tanpa
membalikkan tubuhnya.
“Hari
ini, peringatan kematian ayah Wookie.” bisik Nyonya Kim lirih.
Sungmin
terdiam, agak terkejut. “Mereka tidak membicarakannya.”
“Yesungie
dan Wookie memang tidak pernah membicarakannya. Tapi Eomma tahu mereka ingin pergi.” Nyonya Kim berbalik, menghadap
Sungmin yang terpaku. “Lain kali, kau juga harus ikut, Min. Arrachi?”
Sungmin
mengangguk kaku. “Ye, Omonim.”
Hari
ini peringatan kematian ayah mereka. Di tanggal hari ini juga, beberapa tahun
lalu, untuk kali pertama Sungmin bertemu dengan Yesung.
..::.
“Kyuhyun-ah, saranghae?”
“Eoh
… saranghae!”
Sungmin
tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak mengingat pertanyaan itu.
Pertanyaan paling bodoh yang pernah ia tanyakan pada seseorang. Sangat bodoh
dan ia menyesal pernah sangat berdebar-debar saat mendengar jawabannya.
Kalau
ada pertanyaan paling konyol di dunia ini, itu sudah tentu menanyakan seseorang
apa ia mencintaimu atau tidak.
Sungmin
mendesah. Sudah sejam yang lalu Ryeowook dan Nyonya Kim pergi, sudah sejam yang
lalu pula ia hanya berdiri bersandar di pintu kamarnya—mengingat masa lalu yang
tidak ingin ia ingat, tapi terus saja berputar tanpa bisa ia hentikan. Karena
itu tadi Sungmin segera pulang. Ia butuh Ryeowook untuk menyadarkannya, ia
tidak lagi hidup di masa lalu. Ia butuh Ryeowook untuk menyelamatkannya dari
kegilaan ini.
Tubuh
Sungmin merosot jatuh ke lantai. Ia merasa menghindari ini semua begitu
melelahkan. Dulu, ia sempat berpikir bahwa hari ini akan tiba, karena itu
Sungmin menyiapkan hatinya. Tapi hari saat Kyuhyun kembali terlalu lama. Sangat
lama, cukup bagi Sungmin untuk terbiasa dengan Ryeowook.
Sungmin
tidak siap untuk terluka demi meluruskan masa lalu. Hal ini sudah terlalu lama.
Yang sudah, biarkan saja tetap seperti itu. Bukankah selama ini mereka bisa
bertahan hingga saat ini? Bukan tidak mungkin untuk bertahan lagi ke depannya.
“Saranghae, Lee Sungmin. Saranghandago!”
Sungmin
membenamkan kepalanya di antara kedua lengan, menjatuhkan dahinya di atas lutut.
Ia ingin menghentikan ini. Rasanya, ia seperti penderita amnesia yang baru saja
mendapatkan ingatannya kembali. Dan itu menyakitkan. Ia sudah menciptakan teritori
amannya sendiri bersama Ryeowook, tapi orang lain yang pernah menyia-nyiakannya
justru datang lagi. Meminta lagi apa yang sudah pernah ia buang begitu saja.
Memaafkan
tidak semudah itu, tidak semudah mengatakannya.
“Tentu, Hyeong. Kita akan membuatnya. Rumah kita!”
Rumah
itu. Sungmin juga mengingat ia pernah membuat gambar itu dahulu. Gambar yang ia
sebut rumah masa depan.
“Tidurlah dengan baik. Jangan
mengkhawatirkan apapun.”
Kedua
bahu Sungmin bergetar, isak tertahan menyusup keluar dari kedua belah bibirnya.
“Karena aku akan selalu di sini untuk
menggenggam tanganmu.”
Tapi
sekarang, bahkan ketika ia menangis pilu, tidak ada seorang pun di sisinya.
Tidak ada yang menggenggam tangannya. Ia sendiri.
Kondisi
berubah. Kyuhyun pernah berubah. Dan sekarang, Sungmin pun berubah. Semua tidak
lagi sama. Ia tidak ingin mengenang. Ia tidak ingin terjebak di masa lalu. Sekarang,
masa depannya adalah Ryeowook—
—hanya
Ryeowook.
..::.
Baru
tiga jam sejak Ryeowook meninggalkan Sungmin sendirian di apartemen. Tapi
perasaannya benar-benar buruk. Ia mengkhawatirkan Sungmin setengah mati. Karena
itu, sepulang dari area pemakaman, Ryeowook segera meminta izin untuk pulang.
Meski ia ingin bersama ibunya dan Yesung lebih lama, tapi ia tidak bisa tenang.
Dan
firasat itu terbukti. Begitu memasuki apartemen, ia bisa mendengar suara isakan
pilu dari kamar Sungmin.
Laki-laki
yang selalu kuat itu menangis sendirian di balik pintu berwarna pink di sana. Ryeowook mengingat-ingat.
Ia tidak pernah mendengar atau melihat Sungmin menangis seperti ini. Dan
Ryeowook bisa bertaruh, ia tidak suka mendengar tangis itu.
Sungminnya,
dalam keadaan apapun hanya akan diam. Sama seperti dulu.
“LEPASKAN AKU!”
Ryeowook
tidak pernah suka rasa sepi. Ia pun tidak mengerti. Padahal, ada banyak pelayan
di sekitarnya. Tapi ia selalu merasa sendiri. Hari itu ia mengamuk dan Yesung
tidak ada di rumah untuk menenangkannya. Yang ada hanya remaja berwajah datar
yang melihatnya tanpa mengatakan apapun.
Ia Lee
Sungmin.
Awalnya,
Ryeowook benar-benar benci. Terutama ketika Sungmin justru mendekat padanya,
menatapnya seperti objek penelitian. Ryeowook hampir memukul Sungmin kala itu,
sebelum akhirnya Sungmin justru menarik Ryeowook dalam dekapannya, merangkulnya
meski Ryeowook berontak hebat.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
Sungmin
memang tidak melepaskannya. Hingga Ryeowook lelah, hingga akhirnya ia menangis
keras, bercerita tentang rasa sepinya, Sungmin ada di sana, memeluknya tanpa
banyak bicara.
“Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Kita
jatuh cinta sama-sama.”
Tidak
ada kalimat paling mengagetkan dalam hidup Ryeowook kecuali saat Sungmin
memintanya untuk jatuh cinta. Sungmin bukan tipikal orang yang patut dicintai
kala itu. Seorang tempramen kesepian dan boneka hidup bukanlah pasangan yang
cocok.
“Kenapa aku harus jatuh cinta pada namja sepertimu?”
“Karena hanya aku yang mengerti kondisimu.”
Tapi
Ryeowook memilih Sungmin. Ia memilih untuk jatuh cinta, menciptakan dunia
sendiri dan hidup di dalamnya berdua.
“Pertahankan aku dalam dunia ini, Ryeowook-ah!”
Lalu
sekarang, Ryeowook merasa ada yang tengah berusaha menghancurkan
dinding-dinding kokoh dunia mereka. Orang itu, tengah berusaha menarik
Sungminnya keluar.
“Aku
tidak akan melepaskanmu, Hyeong.”
Ryeowook mencengkram bajunya. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”
..::.
Yesung
masih terdiam saat ia menatap direksi kepergian Ryeowook. Pemuda mungil itu
begitu terburu-buru, seperti tidak akan ada yang bisa menahannya di sini.
Padahal, Yesung berharap ia bisa melihatnya lebih lama.
Entah
berapa lama Yesung tidak melihat eksistensi pemuda itu. Meski tidak bisa
mendapat perhatian seperti yang Ryeowook berikan pada Sungmin, ia masih bisa
mendengar Ryeowook bercerita atau tersenyum. Bagi Yesung, begitu saja sudah
cukup. Selama ini, Yesung cukup mencintai dengan cara seperti itu.
“Yesungie
…,”
Yesung
berbalik begitu suara halus itu menyambangi pendengarannya. “Ye?” Ia menunduk, sebisa mungkin tidak
menatap ekspresi tak tertebak di wajah ibunya.
Nyonya
Kim terdiam sejenak. “Kau benar-benar gila, Yesungie-yah!”
Yesung
mengangkat kepalanya, terkejut oleh kalimat itu. “Ye? O-omonim …,”
“Berapa
kali Eomma harus mengatakannya,
Yesungie-yah?” Nyonya Kim menelan
ludahnya. Ia tidak bermaksud menghakimi putranya ini. Ia hanya tidak ingin Yesung
terus-terusan terjebak. “Kau tidak bisa …,”
“Mianhae. Naneun …,”
Mata
Yesung terbelalak kaget. Ia belum selesai dengan kalimatnya saat tahu-tahu ibunya
mendekat dan merangkul tubuhnya. Tubuh wanita tercinta Yesung itu bergetar,
isakannya teredam di dada milik Yesung.
“Ini
semua salah Eomma. Mianhae, Yesungie-yah. Jeongmal mianhae …,”
::TBC::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar